Friday 12 June 2015

#24 Pain Demands to be Felt

Tadi siang saya baru saja melakukan operasi ringan di mata. Bahasa medisnya: operasi minor dengan dilakukannya insisi. Penyebabnya sederhana saja, bintitan atau hordeolum. Tidak keren, ya.

Sebenarnya saya enggan sekali melakukan operasi ringan ini. Sungguh saya tidak suka bau rumah sakit, saya benci obat dan jarum suntik, serta mual melihat darah. Namun, mau bagaimana lagi, sepertinya hordeolum ini tidak akan hilang dengan sendirinya tanpa dilakukan insisi.

Tiga hari yang lalu (Selasa) saya telah melakukan kontrol dengan dokter untuk melihat kondisi kelopak mata serta kapan sebaiknya tindakan (insisi) dilakukan. Tercapai kesepakatan bahwa operasi akan dilakukan pada hari Kamis. Kamis pagi saya datang ke rumah sakit dan ternyata dokter belum siap, kemudian diundur menjadi hari Jumat. Kalau kata orang Jawa, sih, gonduk. Sudah siap-siap dan berdebar-debar, eh ternyata tidak jadi operasi. Ya sudah.

Lalu tibalah hari ini. Sebelumnya saya telah bertanya pada beberapa orang yang pernah melakukan operasi yang serupa. Pertanyaan saya sama: apakah terasa sakit? Pertanyaan bodoh, sebenarnya. Tentu saja sakit, namanya juga operasi. Namun, jawaban yang saya dapat beragam, ada yang mengatakan tidak sakit, ada yang mengatakan sakit ketika dibius saja, ada juga yang mengatakan sangat sakit. Saya berusaha untuk positive thinking dengan bersugesti bahwa operasi ini tidak akan sakit.

Ditemani Mama, saya berangkat ke rumah sakit dan melakukan pendaftaran. Mulai panik. Eh ternyata masih menunggu dulu satu setengah jam karena dokternya tak kunjung dipanggilkan. Paniknya jadi bertahan cukup lama. Mengesalkan.

Masuklah di Ruang Bedah yang sangat dingin, lalu disterilkan. (Btw, namanya serem juga, ya, Ruang Bedah, seperti operasi besar saja.) Kemudian dokter masuk dan operasi pun dimulai.

Diawali dengan pertanyaan, “Sakit sedikit tidak apa-apa, ya? Hanya waku disuntik.” Saya diam saja. Pasien yang menyebalkan, mungkin. Tetapi, saya diam karena takut dan tegang, bukan karena enggan menjawab. Maafkan saya, Dok.

Kedua kelopak mata saya dibuka lebar dan saya diminta untuk melirik ke atas, kemudian…. Cussss. SIALAN. DISUNTIK BEGINI SAJA SAKIT BENAR, SIH.

Kemudian mata kanan saya mulai mati rasa dan dokter melakukan pembedahan untuk mengambil benjolan di kelopak mata. Masih terasa linu walaupun sudah diberi obat bius. Saya menahan sakit dengan mencengkeram erat kedua tangan saya yang saling bertautan, sepertinya dokter merasakan kegelisahan saya dan berkata, “Tidak apa-apa, ini mau selesai, tidak sakit.” Tidak sakit. Tidak sakit.

Rasanya ingin menangis dalam hati. Eh menangis sungguhan juga boleh, tapi gengsi. Mungkin hanya satu atau dua menit dokter melakukan pembedahan. Tetapi, sungguh, itu adalah dua menit terlama dalam hidup saya.

Setelah linu yang panjang, operasi selesai. Mata saya ditutup dengan kasa steril dan kapas. Saya kira kecil, ternyata sangat besar dan mengganjal. Setelah itu, mata saya terus terasa kaku dan pedih. Hingga sampai saat saya menuliskan entry ini, masih terasa sedikit linu walaupun sudah tidak berdarah dan telah dikompres dengan air hangat serta diberi salep antibiotik. Mata kanan saya masih harus ditutup kira-kira sampai 12 jam kemudian tetap diberi salep antibiotik dan antibiotika oral (obat diminum).

Sungguh saya tidak menyangka operasi kecil untuk bintitan saja akan terasa seperti ini. Entah saya yang berlebihan, tetapi ini adalah operasi pertama saya. Hanya operasi ringan, tetapi cukup sakit juga ternyata. Beberapa kali saya mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan beraktivitas seperti biasa. Namun sayangnya, mata saya belum bisa berfungsi dengan optimal sebelum perban ini dilepas. Tentu saja, masih terasa linu dan pedih walau sudah beberapa jam sejak pembedahan dan saya berusaha mengabaikan rasa sakit tersebut.


Tetiba teringat kalimat dari novel The Fault in Our Stars karya John Green (2012), “That's the thing about pain, it demands to be felt.” Sakit menuntut untuk dirasakan. Benar sekali. Semoga esok hari sudah baik-baik saja sehingga saya bisa mengerjakan UAS take home yang rindu belaian.

Oi.

No comments:

Post a Comment