Monday 25 November 2013

Sabar Tanpa Batas

Menurut KBBI, definisi sabar adalah tabah, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Lalu bagaimana menurut kalian sendiri? Bagi saya, sabar tidak terbatas dalam konteks kerelaan menunggu seseorang atau sesuatu yang kita harapkan kejadiannya, namun juga bagaimana rasa toleran kita dalam menghadapi kejadian dan perlakuan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Sebagai contoh: menunggu dalam sebuah antrian, itu dinamakan sabar; mendapatkan hal-hal tidak sesuai harapan tapi masih sanggup menjaga ketenangan pikiran, itu juga bisa dinamakan sabar.

Dalam tulisan kali ini, mungkin saya akan cenderung membahas contoh yang kedua. Pastinya dalam hidup ini ada kejadian yang tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan, bukan? Hal itu terjadi pada semua orang, entah dalam porsi banyak ataupun sedikit.

Ketika suatu hal buruk menimpa orang lain dan kita merasa tidak dapat melakukan hal yang berarti, seringkali kita akan berkata “sabar ya”, entah dalam pengucapannya benar-benar sepenuh hati atau reflek pikiran yang disalurkan ke lafalan bibir saja, itu tergantung situasi dan kondisi. Apabila hal tersebut benar-benar dimaksudkan sepenuhnya, maka yang diharapkan adalah orang yang sedang diuji tersebut diberi kekuatan lebih dalam menghadapi masalahnya. Bagi yang mengucapkan, mungkin terasa mudah, cukup mengucapkan dua suku kata yang terdiri dari lima huruf. Atau mungkin saat mengucapkan “sabar”, kita merasakan empati dan ikut merasa sedih jika yang mendapatkan kejadian buruk tersebut adalah orang-orang terdekat kita. Namun, bagaimanapun kesedihan dan empati kita, tidak akan sama dengan yang merasakan langsung. Ya, bagaimana jika kita berada di posisi tidak beruntung tersebut? Jika hal yang dihadapi merupakan cobaan berat, ucapan “sabar ya” hanya akan terdengar sebagai ungkapan klise di telinga kita, bukan? Apakah kita dapat menghadapi hal-hal tersebut dengan ketenangan dan rasa toleran? Saya rasa tidak semudah itu. Karena sabar itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan.

Kesulitan-kesulitan dalam merealisasikan ungkapan “sabar” dapat disebabkan oleh banyak hal. Bisa saja kesulitan yang dihadapi terasa sangat berat, baik itu disebabkan oleh kondisi atau individu lain. Tapi, ingatkah kalian akan kata pepatah, “Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan umat-Nya”? Saya rasa hal itu benar adanya. Untuk setiap masalah pasti ada jalan, tergantung ketekunan dan usaha kita dalam mencari jalan keluar tersebut. Bisa juga yang kita butuhkan hanyalah waktu yang lebih, kekuatan yang lebih, dan dukungan yang lebih. Memang sulit, tapi bukan mustahil.

Apabila kalian merasa lelah atau merasa di ujung kemampuan dalam menghadapi sesuatu, yang perlu dilakukan hanyalah menenangkan diri dan memperpanjang rasa toleran. Seberat apapun, nikmati saja prosesnya. Jangan beri batas untuk kesabaran.

Sabar itu tanpa batas, jika masih dalam batasan ya namanya belum sabar.

Wednesday 20 November 2013

Review: Politik Santun dalam Kartun #bridgingcourse

Judul Buku                : Politik Santun dalam Kartun
Kartunis                    : Muhammad Mice Misrad
Penulis Teks              : Ita Sembiring

Fenomena kehidupan politik Indonesia merupakan sasaran empuk untuk dibicarakan di berbagai media yang menampung aspirasi kritis masyarakat. Mice, yang karya kartunnya telah sering kita jumpai pada berbagai surat kabar Indonesia, mencoba menggambarkan potret “kehidupan” pemerintahan lewat buku kumpulan kartun Politik Santun dalam Kartun. Dikolaborasikan dengan teks yang dituliskan oleh Ita Sembiring, buku ini mampu membuat kita tertawa, meringis, hingga mengerutkan kening saat membacanya.

Menyajikan isu-isu hangat seputar rumah tangga pemerintah, buku ini mengangkat berita yang banyak dimuat di harian Rakyat Indonesia. Kumpulan kartun yang dihadirkan adalah gambaran sederhana untuk mengamati kasus dan sepak terjang para penguasa, sebut saja kasus Century yang melibatkan Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan kasus suap Wisma Atlet yang menjadikan M. Nazaruddin sebagai tumbal. Tak hanya kasus seputar anggota kabinet yang diparodikan, kartun ini juga  cukup berani mengkritisi cara kepemimpinan orang nomer satu di Indonesia. Sindiran yang terdengar satir dan menggelikan berhasil menyampaikan dengan baik kekurangan-kekurangan selama dua masa jabatan Presiden SBY.


Mice adalah kartunis kawakan yang mampu menghadirkan manis getir kehidupan dalam gambarnya. Meskipun terlihat apa adanya, inilah lukisan kepedulian terhadap kelangsungan kehidupan politik di Indonesia yang patut untuk direnungkan. Segala kekecewaan dan luapan emosi terhadap negeri ini berhasil dihadirkan dalam kemasan yang mengundang tawa. Untuk kesekian kalinya, Mice membuat kita kembali berpikir: sudah sejauh manakah negeri ini terpuruk?

Tuesday 19 November 2013

Review: Tanah Surga... Katanya #bridgingcourse

Judul Film                  : Tanah Surga... Katanya
Sutradara                   : Erwin Novianto
Produser                    : Deddy Mizwar
Pemeran                  : Osa Aji Santoso, Ringgo Agus Rahman, Fuad Idris, Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani

Dengan latar belakang lokasi di Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia dengan Malaysia, film ini menyuguhkan pada penonton tentang gambaran tipisnya rasa nasionalisme masyarakat Indonesia di perbatasan. Pengaruh dari Malaysia yang sangat kuat dan kurangnya perhatian dari pusat menyebabkan sebagian besar penduduknya mengalami krisis identitas kenusantaraan.

Dibuka dengan adegan Hasyim (Fuad Idris) yang tengah menceritakan kepada kedua cucunya, Salman (Osa Aji Santoso) dan Salina (Tissa Biani), tentang masa perjuangan Indonesia melawan penjajah dan bagaimana ia mempertahankan wilayah ibu pertiwi dari perebutan kekuasaan yang digencarkan oleh negara tetangga, Malaysia. Hasyim dikisahkan sebagai seorang mantan pejuang yang dengan gagah berani membela tanah air pada masanya. Rasa hormat dan cinta akan negeri ini ditanamkan dengan kuat oleh Hasyim kepada kedua cucunya, yang berhasil mewujudkan melalui prestasi di sekolah. Ironisnya, putra Hasyim, Haris (Ence Bagus), dengan mudah meninggalkan kebangsaannya dan beralih menjadi warga negara Malaysia dengan alasan kemudahan materi dan ikatan pernikahan dengan seorang wanita asal Negeri Jiran tersebut. Haris telah membujuk sang ayah dan kedua buah hatinya untuk mengikuti jejaknya dengan iming-iming kesejahteraan. Namun, Hasyim bersikeras untuk tetap setia pada tanah air dan diikuti dengan Salman yang tak ingin pergi meninggalkan kakeknya seorang diri.

Konflik utama bukan tentang kegigihan Hasyim untuk tetap bertahan di negeri ini, melainkan tentang masyarakat di desa tersebut yang tak lagi mengenal identitas bangsanya. Anwar (Ringgo Agus Rahman), seorang dokter muda dari Bandung yang menggantikan dinas di tempat terpencil itu, merasa heran ketika masyarakat di sana tak lagi menggunakan mata uang rupiah, akan tetapi yang digunakan adalah ringgit yang merupakan mata uang Malaysia. Keheranan tersebut bertambah ketika ia menggantikan Astuti (Astri Nurdin), guru sekolah dasar kelas 3 yang merangkap kelas 4, untuk mengajar kedua kelas tersebut. Saat Anwar memberi komando pada para murid untuk menyanyikan lagu nasional, bukan Indonesia Raya yang berkumandang, melainkan Kolam Susu ciptaan Koes Plus yang dinyanyikan dengan fasih oleh para murid.

Film ini juga diwarnai kisah perjuangan Salman mencari uang sebesar 400 ringgit untuk biaya pengobatan sang kakek yang harus dibawa ke rumah sakit di kota agar penyakitnya tidak kunjung memburuk. Salman yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan, menyeberang ke Serawak (Malaysia) dan melihat banyak fenomena bagaimana hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia dianggap rendah di tempat tersebut. Misalnya saja, ketika kesakralan Sang Saka Merah Putih dijatuhkan dengan penggunaan bendera tersebut sebagai kain pembungkus dagangan.

Hal pokok yang ingin diungkapkan dalam film ini adalah keindahan, kekayaan, serta kejayaan Indonesia yang tak sampai hingga ke daerah pelosok dan hanya dapat dinikmati oleh penduduk pusat saja. Kehadiran Deddy Mizwar yang berperan sebagai pejabat pemerintah pusat, juga menambah kesatiran dalam film ini ketika mendengar puisi yang dibacakan oleh Salman tentang sindiran bahwa apa yang diungkapkan dengan “Indonesia Tanah Surga” hanyalah istilah kosong yang tak sempat dicicipi penduduk perbatasan. Ditambah lagi, perang dingin antara Indonesia dengan Malaysia yang sudah berlangsung sejak lama diwujudkan melalui bentuk nonverbal dan banyak tergambar pada latar belakang. Kepolosan Salman dalam melanjutkan sang kakek mempertahankan nasionalisme juga disuguhkan dalam beberapa adegan yang mengetuk pintu hati, seperti saat ia menukarkan sarung terbaiknya dengan bendera merah putih dan membawanya berlari berkibar sepanjang perbatasan Serawak-Indonesia.

Ditengah dunia perfilman Indonesia yang melulu tentang kegaiban dan romantisme, Deddy Mizwar dan Erwin Novianto menghadirkan sebuah karya yang cukup berhasil membuat penonton kembali menengok ke diri sendiri serta merasa malu dan kecil jika dibandingkan semangat Salman akan cinta tanah air. Meskipun sedikit kehilangan fokus, pesan yang ingin diungkapkan dapat tergambar dengan elegan melalui adegan-adegan yang satir dan permainan akting oleh para pemeran yang dapat menggugah sisi emosional penonton. Dengan tagline “Apapun yang terjadi, jangan kehilangan cinta pada negeri ini.”, film Tanah Surga... Katanya patut mendapat pujian untuk kesuksesannya menyajikan tontonan yang berkualitas.