Sunday 7 June 2015

#19 Payung

Hujan membuat kita terjebak di tempat ini. Semula hanya ingin membeli segelas bubble tea, sekarang malah berada di antara rak piring dan gelas di retailer barang-barang rumah tangga ini. Hhhh. Aku hanya dapat menghela napas. Ini semua salahmu, tentu saja, yang bersikeras tak ingin parkir di basement dengan alasan ribet dan memaksaku parkir di seberang mall yang jaraknya lumayan jauh.

“Jiiii, lucu banget gelasnya astaga”, ujarmu sembari mengangkat gelas bergambar Lilo.

“Yaelah, Ra, lo kan udah punya banyak banget gelas begituan dan ga pernah dipake.”

“Eh, kerak wajan, ini gelas buat dipajang kali bukan buat dipake minum, ih”, sahutmu gemas sambil mencubit lenganku.

“ADUH. Ga usah pake cubit-cubit kenapa sih elah bikin kesel aja. Gara-gara lo nih kita malah muter-muter di sini. Lo kan tau gue ada rapat jam 4, sekarang malah di sini gegara lo seenak jidat nyuruh gue parkir di depan. Itu kan jauh, Ra, mana sederes ini kita ga bawa payung, mana bisa jalan balik ke mobil”, omelku panjang lebar.

“Yang Mulia Fauzi Irawan, oh sungguh maafkan hambamu ini yang hina dan hanya mementingkan kepentingan hamba”, makhluk menyebalkan ini memandangku dengan mata memelas dan tangan dikatupkan di dada dengan dramatis. Aku hanya memandangnya dengan kesal sedetik, dan akhirnya tak dapat membendung tawaku. Mata itu selalu berhasil mengalahkanku.

“Lebay deh, Ra. Emang dasar lo orang paling drama dan ngerepotin sedunia raya. Beli bubble tea aja musti di mall.

“Yeee, ini bubble tea paling enak, tau. Makanya jangan ngopi mulu, gatau minuman lain yang enak, kan” jawabmu tak mau kalah sembari menjulurkan lidah, kemudian menyeruput gelas bubble tea itu dan berjalan dengan girang beberapa langkah di depanku.

Aku hanya tersenyum dan memandang punggungnya. Ah, Rara. Dari sini, rambut hitam sebahunya terlihat memesona, masih sama seperti 9 tahun lalu ketika aku melihatnya dalam balutan seragam putih abu-abu. Bahunya masih sama, kecil namun tegas, ada bisikan entah dari mana untuk merengkuh bahu itu dan menjaganya dalam genggamanku. Sedetik kemudian aku tersadar dan mengenyahkan pikiran bodoh itu. Astaga, apa yang kupikirkan.

“Ji, ngapain lo? Nunggu jodoh jatuh dari langit?” serunya dari ujung lorong.

Aku segera menyusulnya. Kami terus berjalan hingga melewati beberapa lorong berisi barang-barang rumah tangga lainnya. Di balik lorong figura dan jam dinding, terdapat rak kecil berisi payung berbagai macam motif.

“Eh, mending kita beli payung deh biar bisa buruan balik, gimana?” ide brilian untuk membeli payung muncul begitu saja dari otakku.

“Hah? Beli payung banget? Oji, payung di sini tuh harganya 200 rebu. Bisa buat beli bubble tea berapa gelas coba? Udah ga usah”, sahutmu sambil membolak-balik payung-payung yang ada di rak.

Bubble tea mulu pikiran lo. Lihat deh motifnya, lo pasti suka kan? Udah pilih aja gue yang bayarin deh, gue tau kan lo lagi seret.”

“Eh dasar tudung saji. Gini ya, Ji, gue kasih tau. Payung tuh cuma dipake di keadaan darurat aja, yang genting gitu. Kalo hujannya gerimis rintik-rintik doang lo males kan pake payung? Kalo ada hujan deres, baru lo pake payung. Lagian lo kan naik mobil nih, jadi ga perlu jalan kepanasan yang musti pake payung.
Yaaa meskipun motif payung tuh bagus dan sebenernya gue suka, tapi tetep aja payung cuma dipake kalo hujan. Motif bagusnya cuma bisa ditunjukin waktu hujan, di mana kadang orang malah in a rush dan ga merhatiin motif. Ya kali jalan-jalan ke mall pake payung kan ga lucu. Jadi gue rasa payung tuh ga penting-penting banget. Cuma kebutuhan sekunder atau tersier malah, yang lo pake dalam keadaan tertentu doang. Ngerti?”

Aku hanya tertegun.

“Malah diem aja, lo kepikiran rapat banget apa? Yaudah deh, yuk balik”, ujarmu seraya menggeretku keluar.

Bukan, Rara. Aku terdiam bukan karena rapat. Namun, karena aku sadar seperti apa makna diriku bagimu. Seperti payung. Ya, payungmu.

Payung yang hanya digunakan di keadaan tertentu dan genting, seperti sekarang. Di mana aku menjadi pilihan keduamu ketika kekasihmu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya. Atau ketika kau menangis mendapati pesan mesra dari wanita lain di ponselnya. Atau ketika keningmu bengkak akibat pukulan tangannya. Kau selalu datang kepadaku, ketika kau membutuhkan seseorang untuk bercerita. Kau selalu datang kepadaku untuk berbagi keluh kesah. Kau selalu datang kepadaku, dalam keadaan darurat dan genting.

Payung yang bermotif indah, namun tidak dapat ditunjukkan dan jarang diperhatikan. Apakah aku juga seperti itu? Menarik bagimu, namun tidak untuk kau tunjukkan kepada banyak orang seperti saat kau dengan kekasihmu. Aku, yang sebenarnya selalu ada saat kau butuhkan, tapi tak pernah menjadi perhatian.

Payung yang bukan kebutuhan primer, tidak terlalu penting. Ya, sama persis denganku yang tak pernah menjadi yang pertama bagimu. Tak pernah benar-benar menjadi hal penting bagimu. Tak peduli seberapa besar aku menginginkan hal itu.

Kini aku sadar, Ra. Entah seberapa besar aku menjadi payungmu, aku tetaplah aku, yang hanya kau cari ketika dalam gundah, yang tak pernah kau banggakan, yang bukan menjadi prioritas. Namun, entah seberapa sering menjadi payung bagimu, aku tak pernah lelah, dan sepertinya akan terus begitu. Mungkin hingga hujan terlalu deras tanpa henti sehingga kau sadar betapa kau membutuhkanku.


“Ya ampun, Ji, ternyata hujannya masih deres banget! Tau gitu tadi beli payung!”

No comments:

Post a Comment