Hujan
membuat kita terjebak di tempat ini. Semula hanya ingin membeli segelas bubble tea, sekarang malah berada di
antara rak piring dan gelas di retailer barang-barang
rumah tangga ini. Hhhh. Aku hanya
dapat menghela napas. Ini semua salahmu, tentu saja, yang bersikeras tak ingin
parkir di basement dengan alasan ribet dan memaksaku parkir di seberang mall yang jaraknya lumayan jauh.
“Jiiii,
lucu banget gelasnya astaga”, ujarmu sembari mengangkat gelas bergambar Lilo.
“Yaelah,
Ra, lo kan udah punya banyak banget gelas begituan dan ga pernah dipake.”
“Eh,
kerak wajan, ini gelas buat dipajang kali bukan buat dipake minum, ih”, sahutmu
gemas sambil mencubit lenganku.
“ADUH.
Ga usah pake cubit-cubit kenapa sih elah bikin kesel aja. Gara-gara lo nih kita
malah muter-muter di sini. Lo kan tau gue ada rapat jam 4, sekarang malah di
sini gegara lo seenak jidat nyuruh gue parkir di depan. Itu kan jauh, Ra, mana
sederes ini kita ga bawa payung, mana bisa jalan balik ke mobil”, omelku
panjang lebar.
“Yang
Mulia Fauzi Irawan, oh sungguh maafkan hambamu ini yang hina dan hanya
mementingkan kepentingan hamba”, makhluk menyebalkan ini memandangku dengan
mata memelas dan tangan dikatupkan di dada dengan dramatis. Aku hanya
memandangnya dengan kesal sedetik, dan akhirnya tak dapat membendung tawaku.
Mata itu selalu berhasil mengalahkanku.
“Lebay
deh, Ra. Emang dasar lo orang paling drama dan ngerepotin sedunia raya. Beli bubble tea aja musti di mall.”
“Yeee,
ini bubble tea paling enak, tau.
Makanya jangan ngopi mulu, gatau minuman lain yang enak, kan” jawabmu tak mau
kalah sembari menjulurkan lidah, kemudian menyeruput gelas bubble tea itu dan berjalan dengan girang beberapa langkah di
depanku.
Aku
hanya tersenyum dan memandang punggungnya. Ah, Rara. Dari sini, rambut hitam
sebahunya terlihat memesona, masih sama seperti 9 tahun lalu ketika aku
melihatnya dalam balutan seragam putih abu-abu. Bahunya masih sama, kecil namun
tegas, ada bisikan entah dari mana untuk merengkuh bahu itu dan menjaganya
dalam genggamanku. Sedetik kemudian aku tersadar dan mengenyahkan pikiran bodoh
itu. Astaga, apa yang kupikirkan.
“Ji,
ngapain lo? Nunggu jodoh jatuh dari langit?” serunya dari ujung lorong.
Aku
segera menyusulnya. Kami terus berjalan hingga melewati beberapa lorong berisi
barang-barang rumah tangga lainnya. Di balik lorong figura dan jam dinding,
terdapat rak kecil berisi payung berbagai macam motif.
“Eh,
mending kita beli payung deh biar bisa buruan balik, gimana?” ide brilian untuk
membeli payung muncul begitu saja dari otakku.
“Hah?
Beli payung banget? Oji, payung di sini tuh harganya 200 rebu. Bisa buat beli bubble tea berapa gelas coba? Udah ga
usah”, sahutmu sambil membolak-balik payung-payung yang ada di rak.
“Bubble tea mulu pikiran lo. Lihat deh
motifnya, lo pasti suka kan? Udah pilih aja gue yang bayarin deh, gue tau kan
lo lagi seret.”
“Eh dasar
tudung saji. Gini ya, Ji, gue kasih tau. Payung tuh cuma dipake di keadaan
darurat aja, yang genting gitu. Kalo hujannya gerimis rintik-rintik doang lo
males kan pake payung? Kalo ada hujan deres, baru lo pake payung. Lagian lo kan
naik mobil nih, jadi ga perlu jalan kepanasan yang musti pake payung.
Yaaa
meskipun motif payung tuh bagus dan sebenernya gue suka, tapi tetep aja payung
cuma dipake kalo hujan. Motif bagusnya cuma bisa ditunjukin waktu hujan, di
mana kadang orang malah in a rush dan
ga merhatiin motif. Ya kali jalan-jalan ke mall
pake payung kan ga lucu. Jadi gue rasa payung tuh ga penting-penting banget.
Cuma kebutuhan sekunder atau tersier malah, yang lo pake dalam keadaan tertentu
doang. Ngerti?”
Aku
hanya tertegun.
“Malah
diem aja, lo kepikiran rapat banget apa? Yaudah deh, yuk balik”, ujarmu seraya
menggeretku keluar.
Bukan,
Rara. Aku terdiam bukan karena rapat. Namun, karena aku sadar seperti apa makna
diriku bagimu. Seperti payung. Ya, payungmu.
Payung
yang hanya digunakan di keadaan tertentu dan genting, seperti sekarang. Di mana
aku menjadi pilihan keduamu ketika kekasihmu sibuk dengan
pekerjaan-pekerjaannya. Atau ketika kau menangis mendapati pesan mesra dari
wanita lain di ponselnya. Atau ketika keningmu bengkak akibat pukulan
tangannya. Kau selalu datang kepadaku, ketika kau membutuhkan seseorang untuk
bercerita. Kau selalu datang kepadaku untuk berbagi keluh kesah. Kau selalu
datang kepadaku, dalam keadaan darurat dan genting.
Payung
yang bermotif indah, namun tidak dapat ditunjukkan dan jarang diperhatikan.
Apakah aku juga seperti itu? Menarik bagimu, namun tidak untuk kau tunjukkan
kepada banyak orang seperti saat kau dengan kekasihmu. Aku, yang sebenarnya
selalu ada saat kau butuhkan, tapi tak pernah menjadi perhatian.
Payung
yang bukan kebutuhan primer, tidak terlalu penting. Ya, sama persis denganku
yang tak pernah menjadi yang pertama bagimu. Tak pernah benar-benar menjadi hal
penting bagimu. Tak peduli seberapa besar aku menginginkan hal itu.
Kini
aku sadar, Ra. Entah seberapa besar aku menjadi payungmu, aku tetaplah aku,
yang hanya kau cari ketika dalam gundah, yang tak pernah kau banggakan, yang
bukan menjadi prioritas. Namun, entah seberapa sering menjadi payung bagimu,
aku tak pernah lelah, dan sepertinya akan terus begitu. Mungkin hingga hujan
terlalu deras tanpa henti sehingga kau sadar betapa kau membutuhkanku.
“Ya
ampun, Ji, ternyata hujannya masih deres banget! Tau gitu tadi beli payung!”