Wednesday 20 May 2015

#1 Maafkan Aku, Serojaku

Guntur

Dapatkah aku menatap matanya sekali lagi? Sekali saja, untuk penjelasan yang sedari dulu tak terungkapkan. Mengapa begitu sulit? Mengapa aku tak sanggup?

Daun pohon alamanda berguguran seolah mengiringi langkahnya meninggalkan rumah ini. Aku hanya berdiri membatu di ambang pintu. Tercabik antara memanggil namanya atau membanting pintu rumah. Haruskah aku mencegahnya? Ah, tidak. Ia yang memilih untuk pergi.
Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Jiva kecil menghampiriku dengan kebingungan, “Ayah, ke mana bunda pergi? Aku lapar”. Ke mana ia pergi? Aku pun tak tahu. Aku pun tak dapat menjawab pertanyaan itu, Nak.
Diamku membuat gadis kecil itu merengek, semakin lama semakin keras seolah menendang-nendang gendang telingaku. Kutinggalkan ia dan masuk ke kamar, berusaha untuk meredam amarah, tetapi semuanya terasa sangat pelik. Mungkin yang kubutuhkan hanya sedikit kesunyian dan kesabaran. Ah, kesabaran.
Tangisan itu berhenti. Entah ke mana perginya gadis kecil itu, yang jelas kini aku memiliki waktu untuk sendiri. Aneh, bukannya semakin tenang, aku malah semakin gusar. Aku mengkhawatirkannya. Bukan, bukan Jiva. Melainkan wanita yang aku kasihi, Seroja.

Seroja

Daun pohon alamanda berguguran seolah mengiringi langkahku meninggalkan rumah ini. Jangan menoleh, jangan menoleh, jangan menoleh. Semakin keras usahaku untuk tidak menoleh, semakin deras air mata ini berderai. Astaga, apa yang telah kulakukan? Bagaimana dengan Jiva? Apakah ia akan baik-baik saja? Ah, tapi sungguh aku tak tahan untuk terus berada dalam satu rumah dengan lelaki itu.
Kucegat bus yang lewat. Entah ke mana perginya, aku tidak peduli, yang jelas aku ingin menjauh. Menjauh dari lelaki yang telah mengkhianatiku selama ini. Yang tega menghancurkan kepercayaan yang begitu berharga bagiku. Masih belum cukup kah pengorbananku selama ini?

Lima tahun yang lalu bukanlah saat yang mudah bagi kami. Dokter memvonis bahwa aku tidak dapat memiliki keturunan dari rahimku. Awan kelabu seakan menyelimuti rumah kami, semua berjalan dengan murung dalam tempo yang lambat.
Hingga saat itu tiba. Adik perempuannya meninggal dunia tepat setelah melahirkan seorang putri ke dunia. Ya, adik perempuannya yang hamil tanpa seorang suami. Entah takdir atau kebetulan yang membuat kami diizinkan untuk merawat dan membesarkan putri tersebut. Seorang bayi dengan hidung yang mungil dan bulu mata yang lentik. Jiva Kirana namanya, Jiva adalah bahasa Sansekerta dari jiwa atau ruh, sedangkan Kirana adalah nama mendiang ibunya yang berarti cahaya yang terang. Jiva Kirana berarti jiwa yang membawa terang.
Sesuai dengan namanya, kehadiran Jiva membawa nafas baru dalam kehidupan rumah tangga kami. Membesarkan seorang putri kembali mengundang semangat dan derai tawa yang dulu pernah pudar. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama. Entah mengapa aku selalu dapat merasakan mata suamiku yang tidak ikut tersenyum bersama bibirnya. Pikirannya yang melayang entah ke mana ketika tertawa. Hingga akhirnya aku tak dapat lagi merasakan kehangatan dalam peluknya.

Sampai akhirnya aku menemukan jawaban. Hari itu hari Minggu yang cerah, tiga tahun yang lalu. Ayahku memberikan rak buku baru untuk menggantikan rak buku yang lama. Aku memutuskan untuk membereskan buku-buku tersebut dan menyimpan yang lama agar kelak tetap bisa dibaca ketika Jiva sudah dewasa. Membereskan buku dan meletakkannya di gudang bukanlah hal yang sulit hingga aku menemukan hal tersebut.
Di dalam kotak kaleng yang ada di sudut gudang, kutemukan surat-surat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Surat-surat dengan cap pos yang belum lama. Yang paling lama adalah satu tahun yang lalu, sedangkan yang terbaru hanya tiga minggu dari tanggal saat itu. Dilihat dari tanggalnya yang berurutan, surat-surat tersebut datang dengan cukup intens. Dengan tulisan yang agak berantakan dan… Oh! Dialamatkan ke kantor suamiku. Rasa penasaran mendorongku terlalu jauh untuk membuka surat tersebut. Mungkin hal itu adalah kesalahan terbesar yang tak pernah kusesali.
Ya, isinya seolah menghujamku berkali-kali dengan sebilah belati. Terlalu banyak kata-kata mesra dan penuh perhatian. Yang menyakitkan, semuanya ditujukan untuk ‘Mas Gunturku’, suamiku.
Saat itu ia hanya terdiam ketika kutanya. Hingga akhirnya ia memohon maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Ia tidak dapat memberi tahu siapa nama wanita tersebut. Tidak ingin melukai perasaanku, katanya. Dengan naïf aku memaafkannya. Semudah itu aku memaafkan suamiku. Lelaki yang paling aku cintai.

Perlahan kubangun kembali dinding kepercayaan yang telah runtuh. Semuanya memang tak terasa sama lagi. Aku hanyalah menjaga api yang sebenarnya telah padam.
Hingga tadi pagi, masih kutemukan surat dengan tulisan tangan yang sama seperti tiga tahun lalu  terselip di meja kerjamu. Masih dengan kata-kata mesra yang sama, yang berbeda hanyalah tanggal cap pos yang menunjukkan tepat tiga hari yang lalu. Kubaca setiap katanya yang kembali membuka lubang menganga di hatiku.
Kali ini, aku tau bahwa aku sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan.

Guntur

Pengecut, kata yang tepat untuk menjelaskan keadaanku saat ini. Pria dewasa yang tak mampu mengutarakan apa yang dipikirkan. Aku tak memiliki cukup keberanian.

Serojaku,
Sungguh aku mengasihimu. Pernah, masih, dan akan selalu mengasihimu. Aku mengasihimu ketika pertama kali kita bertemu. Aku mengasihimu ketika kau tersenyum padaku. Aku mengasihimu ketika kau menemani pagi dan malamku. Aku masih mengasihimu ketika ia yang lain datang ke hidupku. Bahkan, aku masih mengasihimu hingga saat ini. Aku pun tahu kau masih mengasihiku.
Maafkan aku, Serojaku.
Aku tidak dapat berkata jujur padamu. Aku tidak dapat mengungkapkannya padamu. Entah karena aku terlalu mengasihimu, atau karena aku memang terlalu pengecut untuk mengatakan semuanya.
Maafkan aku, Serojaku.
Sungguh aku mengasihimu. Tetapi, aku mencintainya. Mencintai ia yang lain mungkin dosa terbesar yang pernah aku lakukan. Tetapi, aku tak dapat membohongi diriku sendiri. Perasaan ini tak dapat ditolak meskipun aku telah berusaha. Aku memang bodoh, tetapi aku sungguh mencintainya, sama seperti aku mengasihimu. Aku memang bodoh, tetapi aku sungguh mencintai lelakiku.

No comments:

Post a Comment