Jakarta, 6 November 1964
Untuk Ibuku yang kusayang
Halo,
Ibu, apa kabar?
Kurasa
Ibu membuka surat ini langsung setelah Pak Pos mengantarnya. Mungkin kau sedang
menyapu? Aku bisa membayangkan Ibu langsung meletakkan gagang ijuk itu dan
membuka amplop surat dengan tergesa. Lalu, sekarang kau sedang tersenyum
membaca surat ini.
Apakah
pohon jambu di depan rumah sudah berbuah? Terakhir aku pulang, pohon itu belum
menampakkan kembangnya. Mungkin sekarang buah jambu yang manis sudah
bergantungan di dahannya. Atau mungkin Ibu sudah mencicipi manisnya? Wah, sudah
cukup lama, ya, aku meninggalkan rumah.
Aku
ingin Ibu tahu bahwa aku di sini baik-baik saja. Semua berjalan dengan lancar
berkat doa dan restu darimu. Maaf selama ini aku belum dapat membalas
surat-surat dari rumah karena belum ada uang sisa untuk membeli perangko. Baru
beberapa hari lalu aku mendapat bonus dari atasanku karena kinerjaku yang
katanya cukup memuaskan. Lihat, anak Ibu berprestasi, ya.
Sungguh,
aku rindu rumah, Bu. Aku rindu daun-daun pohon jambu, cemara, dan kemangi yang
selalu berguguran di depan rumah kita. Aku rindu ayam-ayam tetangga yang
tersesat ke rumah kita. Aku rindu opor ayam dan acar gurame buatanmu. Aku rindu
Ibu.
Ibu,
aku ingin memohon maaf sekali lagi karena libur Natal esok aku belum dapat
pulang ke rumah. Tugas akhir tahun menumpuk dan awal tahun akan menjadi sangat
sibuk bagi tempatku bekerja sekarang. Selain itu, tiket untuk pulang akan
melambung tinggi pada awal tahun. Aku berjanji ketika semuanya beres aku akan
pulang ke rumah.
Aku
tahu Ibu menitikkan air mata ketika membaca surat ini. Jangan menangis, Bu. Aku
ingin kau tersenyum bahwa anakmu sudah berhasil di kota orang. Aku ingin Ibu
bangga. Kelak, ketika aku sudah menjadi orang sukses, aku akan mengajakmu ke
sini untuk melihat bagaimana kota ini menemani pagi dan malamku. Aku yakin Ibu
akan menyukainya.
Sekian
dulu surat ini, ya, Bu. Semoga aku dapat rutin mengabarimu dengan surat-surat
berikutnya. Aku menyayangimu.
Anakmu,
Ratri
No comments:
Post a Comment