Senin, 12 Mei 2014
06.00
Lapangan tengah FISIPOL UGM, atau
yang biasa disebut Sansiro, mulai ramai dengan celotehan dan canda tawa kami,
mahasiswa Ilmu Komunikasi 2013. Seiring berjalannya menit demi menit, celotehan
tersebut semakin ramai karena jumlah mahasiswa yang berdatangan semakin
bertambah. Kira-kira pukul 07.00 kami pun mulai beranjak dari Sansiro dan
berjalan ke bus yang akan membawa kami ke tempat tujuan hari ini, yakni
Lokananta dan Monumen Pers di Surakarta. Sekitar 125 anak, dengan mengenakan
jas almamater UGM, berjalan dari gedung FISIPOL menuju ke parkiran timur Grha
Sabha Pramana (GSP). Di situ sudah ada 3 bus yang menunggu, kami pun segera
masuk ke dalam bus dan mencari posisi yang strategis untuk duduk. Setelah
menunggu beberapa saat, pukul 07.30 bus mulai berjalan membawa kami ke tempat
tujuan.
09.30
Tibalah kami di tempat tujuan
pertama, yakni Lokananta. Kami segera masuk ke ruangan dengan arsitektur
dinding yang unik; terdapat balok setengah lingkaran, balok yang
berlubang-lubang, dan yang berbentuk seperti tirai, semuanya melekat di
dinding. Setelah bertanya, kami pun tahu bahwa belok dengan berbagai macam
bentuk tersebut dibuat tidak hanya untuk unsur estetika, melainkan juga
memiliki fungsi untuk mengolah suara dan sirkulasi udara dalam ruangan
tersebut. Di ruangan tersebut kami diberi informasi seputar seluk beluk
Lokananta sebagai perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia.
Lokananta berdiri pada tahun 1956
tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1956. Nama Lokananta sendiri memiliki arti “Gamelan
di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh”. Sejak berdirinya, tugas utama Lokananta
adalah memproduksi dan menduplikasi piringan hitam dengan tujuan untuk
mengabadikan musik-musik tradisional. Selain itu, Lokananta juga berkontribusi dalam
menyuplai siaran untuk Radio Republik Indonesia (RRI) dan menyediakan transkrip
berita antar RRI seluruh Indonesia. Pada tahun 1960, Lokananta dikomersialkan
dan meresmikan status sebagai Perusahaan Negara. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2004 Lokananta resmi
menjadi cabang Perum Percetakan Negara Republik Indonesia dengan empat kegiatan
utama, yaitu recording, music studio,
broadcasting, serta percetakan dan penerbitan. Seiring berkembangnya zaman
dan teknologi, master rekaman yang semula berupa piringan hitam mulai melalui
proses modernisasi dan disimpan dalam bentuk soft file.
Hingga saat ini, Lokananta
menyimpan ribuan rekaman mulai dari musik-musik daerah dan lagu-lagu lama
hingga pidato-pidato kenegaraan. Contoh rekaman-rekaman tersebut adalah lagu
Indonesia Raya, Rasa Sayange, dan pidato Proklamasi dari Bung Karno. Puluhan
penyanyi legendaris juga telah melakukan proses recording di tempat ini, antara lain Gesang, Waldjinah, dan Titiek
Puspa. Sedangkan untuk artis-artis terbaru yang melakukan rekaman di Lokananta
yakni Glenn Fredly, Shaggy Dog, White Shoes and The Couple Company, dan Efek
Rumah Kaca.
Setelah puas bertanya jawab
seputar sejarah dan tujuan Lokananta, kami dibagi menjadi tiga kelompok besar
dan diajak untuk berkeliling tempat ini. Kelompok saya mendapat tujuan pertama
yaitu ruang penyimpanan master rekaman. Di ruang ini terdapat ribuan cassette dan piringan hitam dengan
berbagai judul. Dapat juga kami jumpai berbagai poster band dan penyanyi
legendaris yang melakukan rekaman di Lokananta. Ada satu hal yang sangat
menarik dari ruangan ini yaitu pendingin ruangan (air conditioner/ AC) yang
memiliki bentuk sangat unik. Satu kesan yang dapat ditangkap ketika melihat AC
tersebut: klasik. Hebatnya, meski sudah terlihat sangat “lawas” dan rapuh,
pendingin ruangan ini masih dapat berfungsi dengan baik.
Beralih ke ruangan selanjutnya
yang berisik banyak alat-alat rekaman di masa lalu. Koleksi benda-benda yang
digunakan untuk mendukung proses rekaman, seperti speaker control, audio
control, dan pemutar piringan hitam. Semua benda-benda tersebut masih tampak
menawan meski telah berusia puluhan tahun. Kemudian, ruangan ketiga dan
terakhir yang kami kunjungi yaitu studio rekaman. Di sini kami mendapat banyak
pengetahuan seputar dunia recording. Pemandu kami dengan ramah menjelaskan
berbagai seluk beluk proses rekaman yang belum kami ketahui sebelumnya. Tak lupa
kami mengambil beberapa foto sepanjang tur singkat kami mengelilingi Lokananta.
Merasa puas dan cukup lelah
menjelajah seluruh sudut bangunan ini, kami pun berkumpul di depan pintu utama
dan mempersiapkan diri untuk berkunjung ke tempat tujuan selanjutnya yaitu
Monumen Pers Nasional.
14.00
Setelah menyantap makan siang di
RM Taman Sari, rombongan kami bergerak ke Monumen Pers Nasional yang letaknya
tidak terlalu jauh. Bangunan ini tidak memiliki lahan parkir yang cukup luas
sehingga bus yang membawa kami harus berhenti di pinggir jalan raya dan
menyebabkan jalan menjadi padat. Dengan ditemani hujan yang datang
rintik-rintik kami pun masuk ke dalam bangunan utama Monumen Pers Nasional.
Baru beberapa langkah memasuki gedung ini, di kanan dan kiri sudah terdapat
berbagai macam benda-benda bersejarah seputar dunia pers, sebut saja patung torso
para perintis pers nasional dan berbagai pindaian surat kabar lama yang
bersejarah. Kami pun dikumpulkan untuk duduk di tengah ruangan dan
memperhatikan video mengenai sejarah singkat Monumen Pers Nasional dan koleksi
apa saja yang terdapat di dalamnya. Setelah melihat video dokumenter tersebut,
kami menjadi takjub karena begitu banyaknya koleksi benda-benda bersejarah yang
terdapat di sini. Tak sabar menunggu terlalu lama, kami bergegas bangkit untuk
berkeliling.
Di sudut kanan dan kiri gedung
tersebut, terdapat diorama yang menceritakan sejarah pers Indonesia. Diorama tersebut
dibagi menjadi enam kotak besar dengan konten sebagai berikut:
- Diorama
pertama menggambarkan penyampaian berita pada zaman prasejarah hingga kerajaan
di dunia.
- Diorama
kedua menggambarkan pers pada zaman penjajahan Belanda.
- Diorama
ketiga menggambarkan pers pada zaman penjajahan Jepang. Pada saat itu pers
dalam tekanan Jepang dan ditunjukkan dengan adanya penjara sebagai visualisasi
ketatnya pengawasan terhadap pers.
- Diorama
keempat menggambarkan perkembangan pers di Indonesia pada awal kemerdekaan,
beberapa hari setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.
- Diorama
kelima menggambarkan perkembangan pers di masa Orde Baru. Pemerintah sangat
membatasi ruang gerak pers dengan mewajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT)
dan pers dapat dibredel sewaktu-waktu.
- Diorama
keenam menggambarkan perkembangan pers pada masa reformasi dan menjunjung
tinggi kebebasan. Pers di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa. Banyak
media baru muncul baik cetak maupun elektronik.
Masuk ke ruangan di samping
jejeran diorama, kami disuguhi ruangan yang menyediakan fasilitas komputer dan
akses internet secara gratis. Di luar ruangan tersebut kami dapat menjumpai
berbagai benda-benda bersejarah milik tokoh-tokoh pers. Sebut saja mesin ketik
Bakrie Soeraatmadja, kamera Fuad Muhammad Syarifuddin, dan plat cetakan perdana
Koran Kedaulatan Rakyat.
Lebih melihat ke luar, kami pun
masuk ke gedung pendamping yang terletak di samping gedung utama. Gedung ini
terdiri dari empat lantai dan memiliki rooftop. Di lantai 2 dan 3, terdapat
puluhan hingga ratusan ribu koleksi surat kabar dan majalah dengan berbagai
judul. Terdapat ruangan yang digunakan untuk mendigitalisasi koran-koran lama
tersebut ke dalam bentuk soft file sehingga mudah diakses dari perangkat
komputer. Gedung ini juga dilengkapi ruangan khusus yang menyediakan fasilitas
e-paper bagi pembaca setia surat kabar.
Sangat banyak koleksi sejarah
pers yang dapat kami jumpai dalam Monumen Pers Nasional. Setelah merasa puas
berkeliling, sekitar pukul 16.30 rombongan kami masuk ke dalam bus untuk pulang
ke Yogyakarta. Dengan hati gembira serta tambahan ilmu dan pengetahuan yang
sangat berguna, rasa lelah kami terbayar sudah. Terima kasih untuk pelajaran
luar biasa yang kami dapat dari perjalanan tersebut. Semoga situs-situs yang
menyimpan banyak sejarah tetap digemari dan dilestarikan oleh masyarakat,
karena dari sejarahlah kita belajar. Hidup musik dan pers nasional!
- Diposkan sebagai tugas mata kuliah Sejarah Komunikasi dan Media Indonesia (Ilmu Komunikasi B)-