Monday 19 May 2014

Dari Piringan Hitam Hingga Koleksi Surat Kabar

Senin, 12 Mei 2014

06.00
Lapangan tengah FISIPOL UGM, atau yang biasa disebut Sansiro, mulai ramai dengan celotehan dan canda tawa kami, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2013. Seiring berjalannya menit demi menit, celotehan tersebut semakin ramai karena jumlah mahasiswa yang berdatangan semakin bertambah. Kira-kira pukul 07.00 kami pun mulai beranjak dari Sansiro dan berjalan ke bus yang akan membawa kami ke tempat tujuan hari ini, yakni Lokananta dan Monumen Pers di Surakarta. Sekitar 125 anak, dengan mengenakan jas almamater UGM, berjalan dari gedung FISIPOL menuju ke parkiran timur Grha Sabha Pramana (GSP). Di situ sudah ada 3 bus yang menunggu, kami pun segera masuk ke dalam bus dan mencari posisi yang strategis untuk duduk. Setelah menunggu beberapa saat, pukul 07.30 bus mulai berjalan membawa kami ke tempat tujuan.

09.30
Tibalah kami di tempat tujuan pertama, yakni Lokananta. Kami segera masuk ke ruangan dengan arsitektur dinding yang unik; terdapat balok setengah lingkaran, balok yang berlubang-lubang, dan yang berbentuk seperti tirai, semuanya melekat di dinding. Setelah bertanya, kami pun tahu bahwa belok dengan berbagai macam bentuk tersebut dibuat tidak hanya untuk unsur estetika, melainkan juga memiliki fungsi untuk mengolah suara dan sirkulasi udara dalam ruangan tersebut. Di ruangan tersebut kami diberi informasi seputar seluk beluk Lokananta sebagai perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia.

Lokananta berdiri pada tahun 1956 tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1956. Nama Lokananta sendiri memiliki arti “Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh”. Sejak berdirinya, tugas utama Lokananta adalah memproduksi dan menduplikasi piringan hitam dengan tujuan untuk mengabadikan musik-musik tradisional. Selain itu, Lokananta juga berkontribusi dalam menyuplai siaran untuk Radio Republik Indonesia (RRI) dan menyediakan transkrip berita antar RRI seluruh Indonesia. Pada tahun 1960, Lokananta dikomersialkan dan meresmikan status sebagai Perusahaan Negara. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2004 Lokananta resmi menjadi cabang Perum Percetakan Negara Republik Indonesia dengan empat kegiatan utama, yaitu recording, music studio, broadcasting, serta percetakan dan penerbitan. Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, master rekaman yang semula berupa piringan hitam mulai melalui proses modernisasi dan disimpan dalam bentuk soft file.

Hingga saat ini, Lokananta menyimpan ribuan rekaman mulai dari musik-musik daerah dan lagu-lagu lama hingga pidato-pidato kenegaraan. Contoh rekaman-rekaman tersebut adalah lagu Indonesia Raya, Rasa Sayange, dan pidato Proklamasi dari Bung Karno. Puluhan penyanyi legendaris juga telah melakukan proses recording di tempat ini, antara lain Gesang, Waldjinah, dan Titiek Puspa. Sedangkan untuk artis-artis terbaru yang melakukan rekaman di Lokananta yakni Glenn Fredly, Shaggy Dog, White Shoes and The Couple Company, dan Efek Rumah Kaca.

Setelah puas bertanya jawab seputar sejarah dan tujuan Lokananta, kami dibagi menjadi tiga kelompok besar dan diajak untuk berkeliling tempat ini. Kelompok saya mendapat tujuan pertama yaitu ruang penyimpanan master rekaman. Di ruang ini terdapat ribuan cassette dan piringan hitam dengan berbagai judul. Dapat juga kami jumpai berbagai poster band dan penyanyi legendaris yang melakukan rekaman di Lokananta. Ada satu hal yang sangat menarik dari ruangan ini yaitu pendingin ruangan (air conditioner/ AC) yang memiliki bentuk sangat unik. Satu kesan yang dapat ditangkap ketika melihat AC tersebut: klasik. Hebatnya, meski sudah terlihat sangat “lawas” dan rapuh, pendingin ruangan ini masih dapat berfungsi dengan baik.

Beralih ke ruangan selanjutnya yang berisik banyak alat-alat rekaman di masa lalu. Koleksi benda-benda yang digunakan untuk mendukung proses rekaman, seperti speaker control, audio control, dan pemutar piringan hitam. Semua benda-benda tersebut masih tampak menawan meski telah berusia puluhan tahun. Kemudian, ruangan ketiga dan terakhir yang kami kunjungi yaitu studio rekaman. Di sini kami mendapat banyak pengetahuan seputar dunia recording. Pemandu kami dengan ramah menjelaskan berbagai seluk beluk proses rekaman yang belum kami ketahui sebelumnya. Tak lupa kami mengambil beberapa foto sepanjang tur singkat kami mengelilingi Lokananta.

Merasa puas dan cukup lelah menjelajah seluruh sudut bangunan ini, kami pun berkumpul di depan pintu utama dan mempersiapkan diri untuk berkunjung ke tempat tujuan selanjutnya yaitu Monumen Pers Nasional.


14.00
Setelah menyantap makan siang di RM Taman Sari, rombongan kami bergerak ke Monumen Pers Nasional yang letaknya tidak terlalu jauh. Bangunan ini tidak memiliki lahan parkir yang cukup luas sehingga bus yang membawa kami harus berhenti di pinggir jalan raya dan menyebabkan jalan menjadi padat. Dengan ditemani hujan yang datang rintik-rintik kami pun masuk ke dalam bangunan utama Monumen Pers Nasional. Baru beberapa langkah memasuki gedung ini, di kanan dan kiri sudah terdapat berbagai macam benda-benda bersejarah seputar dunia pers, sebut saja patung torso para perintis pers nasional dan berbagai pindaian surat kabar lama yang bersejarah. Kami pun dikumpulkan untuk duduk di tengah ruangan dan memperhatikan video mengenai sejarah singkat Monumen Pers Nasional dan koleksi apa saja yang terdapat di dalamnya. Setelah melihat video dokumenter tersebut, kami menjadi takjub karena begitu banyaknya koleksi benda-benda bersejarah yang terdapat di sini. Tak sabar menunggu terlalu lama, kami bergegas bangkit untuk berkeliling.

Di sudut kanan dan kiri gedung tersebut, terdapat diorama yang menceritakan sejarah pers Indonesia. Diorama tersebut dibagi menjadi enam kotak besar dengan konten sebagai berikut: 
  1. Diorama pertama menggambarkan penyampaian berita pada zaman prasejarah hingga kerajaan di dunia.
  2. Diorama kedua menggambarkan pers pada zaman penjajahan Belanda.
  3. Diorama ketiga menggambarkan pers pada zaman penjajahan Jepang. Pada saat itu pers dalam tekanan Jepang dan ditunjukkan dengan adanya penjara sebagai visualisasi ketatnya pengawasan terhadap pers.
  4.  Diorama keempat menggambarkan perkembangan pers di Indonesia pada awal kemerdekaan, beberapa hari setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.
  5.  Diorama kelima menggambarkan perkembangan pers di masa Orde Baru. Pemerintah sangat membatasi ruang gerak pers dengan mewajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT) dan pers dapat dibredel sewaktu-waktu.
  6.  Diorama keenam menggambarkan perkembangan pers pada masa reformasi dan menjunjung tinggi kebebasan. Pers di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa. Banyak media baru muncul baik cetak maupun elektronik.
Masuk ke ruangan di samping jejeran diorama, kami disuguhi ruangan yang menyediakan fasilitas komputer dan akses internet secara gratis. Di luar ruangan tersebut kami dapat menjumpai berbagai benda-benda bersejarah milik tokoh-tokoh pers. Sebut saja mesin ketik Bakrie Soeraatmadja, kamera Fuad Muhammad Syarifuddin, dan plat cetakan perdana Koran Kedaulatan Rakyat.

Lebih melihat ke luar, kami pun masuk ke gedung pendamping yang terletak di samping gedung utama. Gedung ini terdiri dari empat lantai dan memiliki rooftop. Di lantai 2 dan 3, terdapat puluhan hingga ratusan ribu koleksi surat kabar dan majalah dengan berbagai judul. Terdapat ruangan yang digunakan untuk mendigitalisasi koran-koran lama tersebut ke dalam bentuk soft file sehingga mudah diakses dari perangkat komputer. Gedung ini juga dilengkapi ruangan khusus yang menyediakan fasilitas e-paper bagi pembaca setia surat kabar.

Sangat banyak koleksi sejarah pers yang dapat kami jumpai dalam Monumen Pers Nasional. Setelah merasa puas berkeliling, sekitar pukul 16.30 rombongan kami masuk ke dalam bus untuk pulang ke Yogyakarta. Dengan hati gembira serta tambahan ilmu dan pengetahuan yang sangat berguna, rasa lelah kami terbayar sudah. Terima kasih untuk pelajaran luar biasa yang kami dapat dari perjalanan tersebut. Semoga situs-situs yang menyimpan banyak sejarah tetap digemari dan dilestarikan oleh masyarakat, karena dari sejarahlah kita belajar. Hidup musik dan pers nasional!

- Diposkan sebagai tugas mata kuliah Sejarah Komunikasi dan Media Indonesia (Ilmu Komunikasi B)-

No comments:

Post a Comment