Tuesday 19 November 2013

Review: Tanah Surga... Katanya #bridgingcourse

Judul Film                  : Tanah Surga... Katanya
Sutradara                   : Erwin Novianto
Produser                    : Deddy Mizwar
Pemeran                  : Osa Aji Santoso, Ringgo Agus Rahman, Fuad Idris, Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani

Dengan latar belakang lokasi di Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia dengan Malaysia, film ini menyuguhkan pada penonton tentang gambaran tipisnya rasa nasionalisme masyarakat Indonesia di perbatasan. Pengaruh dari Malaysia yang sangat kuat dan kurangnya perhatian dari pusat menyebabkan sebagian besar penduduknya mengalami krisis identitas kenusantaraan.

Dibuka dengan adegan Hasyim (Fuad Idris) yang tengah menceritakan kepada kedua cucunya, Salman (Osa Aji Santoso) dan Salina (Tissa Biani), tentang masa perjuangan Indonesia melawan penjajah dan bagaimana ia mempertahankan wilayah ibu pertiwi dari perebutan kekuasaan yang digencarkan oleh negara tetangga, Malaysia. Hasyim dikisahkan sebagai seorang mantan pejuang yang dengan gagah berani membela tanah air pada masanya. Rasa hormat dan cinta akan negeri ini ditanamkan dengan kuat oleh Hasyim kepada kedua cucunya, yang berhasil mewujudkan melalui prestasi di sekolah. Ironisnya, putra Hasyim, Haris (Ence Bagus), dengan mudah meninggalkan kebangsaannya dan beralih menjadi warga negara Malaysia dengan alasan kemudahan materi dan ikatan pernikahan dengan seorang wanita asal Negeri Jiran tersebut. Haris telah membujuk sang ayah dan kedua buah hatinya untuk mengikuti jejaknya dengan iming-iming kesejahteraan. Namun, Hasyim bersikeras untuk tetap setia pada tanah air dan diikuti dengan Salman yang tak ingin pergi meninggalkan kakeknya seorang diri.

Konflik utama bukan tentang kegigihan Hasyim untuk tetap bertahan di negeri ini, melainkan tentang masyarakat di desa tersebut yang tak lagi mengenal identitas bangsanya. Anwar (Ringgo Agus Rahman), seorang dokter muda dari Bandung yang menggantikan dinas di tempat terpencil itu, merasa heran ketika masyarakat di sana tak lagi menggunakan mata uang rupiah, akan tetapi yang digunakan adalah ringgit yang merupakan mata uang Malaysia. Keheranan tersebut bertambah ketika ia menggantikan Astuti (Astri Nurdin), guru sekolah dasar kelas 3 yang merangkap kelas 4, untuk mengajar kedua kelas tersebut. Saat Anwar memberi komando pada para murid untuk menyanyikan lagu nasional, bukan Indonesia Raya yang berkumandang, melainkan Kolam Susu ciptaan Koes Plus yang dinyanyikan dengan fasih oleh para murid.

Film ini juga diwarnai kisah perjuangan Salman mencari uang sebesar 400 ringgit untuk biaya pengobatan sang kakek yang harus dibawa ke rumah sakit di kota agar penyakitnya tidak kunjung memburuk. Salman yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan, menyeberang ke Serawak (Malaysia) dan melihat banyak fenomena bagaimana hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia dianggap rendah di tempat tersebut. Misalnya saja, ketika kesakralan Sang Saka Merah Putih dijatuhkan dengan penggunaan bendera tersebut sebagai kain pembungkus dagangan.

Hal pokok yang ingin diungkapkan dalam film ini adalah keindahan, kekayaan, serta kejayaan Indonesia yang tak sampai hingga ke daerah pelosok dan hanya dapat dinikmati oleh penduduk pusat saja. Kehadiran Deddy Mizwar yang berperan sebagai pejabat pemerintah pusat, juga menambah kesatiran dalam film ini ketika mendengar puisi yang dibacakan oleh Salman tentang sindiran bahwa apa yang diungkapkan dengan “Indonesia Tanah Surga” hanyalah istilah kosong yang tak sempat dicicipi penduduk perbatasan. Ditambah lagi, perang dingin antara Indonesia dengan Malaysia yang sudah berlangsung sejak lama diwujudkan melalui bentuk nonverbal dan banyak tergambar pada latar belakang. Kepolosan Salman dalam melanjutkan sang kakek mempertahankan nasionalisme juga disuguhkan dalam beberapa adegan yang mengetuk pintu hati, seperti saat ia menukarkan sarung terbaiknya dengan bendera merah putih dan membawanya berlari berkibar sepanjang perbatasan Serawak-Indonesia.

Ditengah dunia perfilman Indonesia yang melulu tentang kegaiban dan romantisme, Deddy Mizwar dan Erwin Novianto menghadirkan sebuah karya yang cukup berhasil membuat penonton kembali menengok ke diri sendiri serta merasa malu dan kecil jika dibandingkan semangat Salman akan cinta tanah air. Meskipun sedikit kehilangan fokus, pesan yang ingin diungkapkan dapat tergambar dengan elegan melalui adegan-adegan yang satir dan permainan akting oleh para pemeran yang dapat menggugah sisi emosional penonton. Dengan tagline “Apapun yang terjadi, jangan kehilangan cinta pada negeri ini.”, film Tanah Surga... Katanya patut mendapat pujian untuk kesuksesannya menyajikan tontonan yang berkualitas.


No comments:

Post a Comment